Jumat, 13 Januari 2012

Mensyukuri Walau Hanya Satu Tarikan Nafas

Di awal hari, seringkali kita membuat perencanaan besar dan dan banyak target yang harus dicapai. Entah berapa hal yang ingin kita kerjakan dan kita dapatkan, bahkan kalau bisa kita ingin menyelesaikan semuanya dan ingin mendapatkan banyak hal. Tentu hal tersebut adalah hal yang wajar. Setiap kita yang hidup tentunya punya ambisi dan keinginan.

Namun demikian, tidak jarang apa yang telah kita rencanakan tidak satupun yang dapat kita dapatkan atau tak satupun pekerjaan yang sesuai dengan target dan harapan kita. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Bisa jadi  tidak fokus, kurang semangat, terbentur agenda lain, atau bahkan tak satupun pekerjaan tersebut kita lakukan karena kita sendiri bingung mengerjakannya, karena saking banyaknya pekerjaan atau terlalu banyak hal yang ingin diraih tersebut.

Akhirnya, seringkali kita dapatkan pekerjaan tersebut tak terselesaikan atau tak satupun sesuatu yang kita dapatkan di hari tersebut. Kita pun seringkali menutup hari dengan keluhan, putus asa, bahkan kecewa, seolah tak satupun kebaikan yang  kita dapatkan di hari tersebut. Inilah yang seringkali membuat hidup ini seolah suram, tidak berpihak kepada kita dan pada akhirnya kita pun sering lupa mensyukuri terhadap hal-hal yang sebenarnya banyak kebaikan yang telah kita dapatkan di hari tersebut. Banyak hal kebaikan sebenarnya yang seringkali terabaikan hanya karena keinginan-keinginan besar yang kita harapkan, dan hal tersebut tidak pernah kita syukuri karena kita gagal mendapatkan sesuatu yang lebih besar dan lebih banyak.

Senyum dan sapa dari rekan sejawat, kepercayaan dari atasan, penghormatan dari bawahan, nikmatnya makan siang, cuaca yang bersahabat, kendaraan yang masih bisa digunakan, pulang dengan selamat dan masih banyak lagi hal-hal kebaikan lainnya yang kita seringkali kali kita abaikan.  Padahal  sebenarnya hal-hal tersebut adalah sesuatu yang dapat kita syukuri, satu tarikan nafas yang masih bisa kita lakukan pun adalah sesuatu hal yang mesti kita syukuri pula.

Sebelum tidur jangan hanya mengingat-ingat hal-hal yang tidak kita dapatkan, tapi sempatkan juga untuk mengingat-ingat kebaikan-kebaikan yang kita dapatkan sekecil apapun kebaikan tersebut menurut kita. Tidak perlu menunggu banyak hal yang didapatkan untuk menjadikan kita bersyukur, tetapi mulai mensyukuri apa yang ada yang akan menyebabkan kita merasakan mendapatkan banyak hal. Seandainya kita bersyukur niscaya Allah akan menambahnya.

 Sumber Gambar : dikepalaku.blogspot.com

Jumat, 06 Januari 2012

Menari di Atas Badai

Badai itu datang, dan tak bisa dihindari. Ia adalah ketetapan dalam setiap perjalanan.  Badai  datang untuk menguji sampai sejauh mana tingkat kesabaran dan ketabahan kita dalam menghadapinya,  bahkan sebagai ujian untuk naik kelas  menuju derajat kemulian di hadapan Sang Khalik. Badai adalah sesuatu yang tidak mengenakan, ia datang bisa menghempaskan, memporakporandakan bahkan menghancurkan. Namun yakinlah seberapa besar badai itu datang menerjang, ia akan segera beralu. Namun demikian persoalannya bukan berlalunya sang badai, sebab memang badai terjadi tidak begitu lama, ia pasti akan segera berlalu. Persoalannya, adalah justru bagaimana keadaan dan kondisi kita setelah badai itu datang menerjang. Masihkah kita kokoh berdiri dengan tegak dan siap akan menghadapi badai selanjutnya yang mungkin jauh lebih besar, ataukah justru kita porak poranda dan hancur berkeping-keping tak berdaya lagi.

Walaupun kita tidak mengharapkannya, badai itu mungkin datang tidak satu kali, bisa jadi ia akan datang dan datang lagi dalam perjalanan kita, bahkan dengan kekuatannya yang lebih besar lagi. Maka ketika itu terjadi, tersenyumlah bahwa itu bisa jadi tanda bahwa kita selama ini telah naik kelas dan akan naik kelas lagi.  Badai datang tak bisa kita hindari, tak bisa pula kita melawannya. Ia datang pada hakikatnya bukan untuk menghancurkan atau melenyapkan. Ia datang justru ingin mengajak kita untuk semakin tangguh dan membimbing kita untuk semakin kuat, serta menuntun pada derajat kemuliaan di sisi-Nya. Maka ketika ia datang, tersenyum dan sambutlah dengan ramah dan penuh keridhaan, dan menarilah di atasnya.

Serahkan semuanya pada Dia sang Pemilik Badai, cukuplah Dia sebagai penolongmu. Hasbnallah wa ni’mal wakil. “Sesungguhnya beserta kesukaran terdapat kemudahan di dalamnya” 


Selasa, 03 Januari 2012

Berguru Pada Kupu-kupu

Seolah telah menjadi “hukum kehidupan”, setiap manusia dalam perjalanan kehidupannya pasti pernah mengalami kesulitan. Kesulitan akan senantiasa ada dalam perjalanan kehidupan seseorang. Banyak ragam dan jenis wujud kesulitan yang datang menghampiri siapa pun. Mulai dari rakyat hingga presiden, mulai dari supir angkot hingga pilot, mulai dari anak kecil hingga orang tua, mulai dari rakyat melarat hingga konglomerat, dan seterusnya, tidak terkecuali. Bahkan terkadang ketika kita berhasil keluar dari satu kesulitan, muncul kesulitan-kesulitan yang lain. Sehingga kadang kala kita pun sering berpikir bahkan tidak jarang pula kita mengeluh kenapa kesulitan ini datang menghampiri kita.

 (Sumber gambar : my.opera.com )
 
Dalam sebuah kelas Biologi ketika mengobservasi proses keluarnya kupu-kupu dari kepompong, seorang guru berpesan kepada murid-muridnya supaya tidak membantu kupu-kupu tersebut untuk keluar.  Ketika melihat perjuangan kupu-kupu yang merasa kesulitan untuk keluar dari kepompong tersebut, seorang siswa merasa iba dan kasihan karena telah berjam-jam tidak berhasil keluar juga. Maka ia pun mendekati kepompong itu dan membantu kupu-kupu dengan membukakan kulit kepompong tersebut. Ia berhasil mengambil kupu-kupu tersebut dan meletakannya di atas meja. Namun apa yang terjadi ? Setelah ditunggu beberapa lama, kupu-kupu tersebut tidak mau terbang juga. Ternyata ia tidak punya cukup kekuatan untuk dapat terbang, kepakan sayapnya sangat lemah. Tidak mampu mengangkat beban badannya. Ia hanya tergolek lemah di atas meja tersebut. Perjuangan kupu-kupu tersebut ketika berusaha keluar dari kepompong sebenarnya adalah sebuah proses untuk menguatkan sayap-sayapnya yang dapat ia kepakan untuk terbang. Ketika otot-otot itu lemah, maka itu sayap-sayapnya tidak mampu mangangkat beban badanyya untuk terbang. Arnold Schwarzenegger seorang Aktor Holywood yang jadi Gubernur Calipornia pernah menyatakan "Kekuatan bukan berasal dari kemenangan. Perjuangan Anda lah yang melahirkan kekuatan. Ketika Anda menghadapi kesulitan dan tak menyerah, itulah kekuatan."  Ya dari kesulitan,  bukan dari kemudahan.  
 
Dalam setiap kesulitan terdapat sebuah hikmah kebaikan bagi kehidupan kita. Dalam setiap kesulitan terdapat kesempatan, bukan dalam setiap kesempatan terdapat kesulitan. Dari kesulitan-kesulitan itulah kita menjadi penyabar. Dari kesulitan-kesulitan itulah kita menjadi orang yang optimistis. Dari kesulitan-kesulitan itulah kita menjadi orang yang tidak gampang menyerah. Dari kesulitan-kesulitan itulah kita menjadi kuat. Allah SWT menagaskan Sesungguhnya beserta kesulitan itu terdapat kemudahan”.    
 
Ayo kepakkan terus sayapmu...!!!

Antara Makhluk Logika dan Makhluk Emosi

 (Sumber gambar : angahfadz.blogspot.com)

"Manusia adalah hewan yang berpikir" (Al-Insanu hayawanun nathiq) merupakan aksioma yang seolah tak terbantahkan dan pula menjadi kebenaran universal. Demikian pula ketika hal apa yang menjadikan perbedaan utama antara manusia dengan binatang, kita pun menjadikan akal sebagai pembeda yang utama. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut, dan juga tidak perlu diperdebatkan. Dalam realitasnya aktivitas yang kita lakukan seringkali dilandasi dan dikonsultasikan dengan faktor atau pertimbangan-pertimbangan logika. Bahkan filsuf kenamaan Descartes pernah melontarkan pernyataan yang cukup berpengaruh dalam pemikiran umat manusia, “cogito ergo sum” (aku berpikir kerena itu aku ada). Bahkan dari jargon tersebut pula lah kemudian berkembang mazhab filsafat Rationalism.

Namun demikian, tentunya kita sebagai manusia tidak bisa dan/atau tidak cukup dipotret dengan hanya satu aspek tersebut aja. Pun demikian kita pun tidak selamanya mendasarkan atau mengonsultasikan aktivitas kita pada pertimbangan logika semata. Aspek emosi juga tumbuh dan berkembang dalam diri kita. Tidak jarang pula aktivitas yang kita lakukan bersumber dari dorongan dan pertimbangan emosi. Bahkan dalam konteks pergaulan dibandingkan dengan logika, faktor emosi sepertinya harus lebih dipertimbangkan. Seperti yang diuangkapkan oleh Dale Carnegie (1888—1955), seorang sastrawan sekaligus motivator ulung asal Amerika Serikat “Ketika berhadapan dengan orang, ingatlah Anda tidak berurusan dengan makhluk logika, tapi makhluk emosi.” Sikap respek, empati, simpati, penuh perhatian, kehangatan dan sungguh-sungguh merupakan sesuatu yang mesti kita perhatikan ketika kita berhubungan atau berkomunikasi dengan orang lain, walaupun secara logika orang tersebut bukan siapa-siapa. (:-D

Secangkir Kopi Itu....


Tidak biasanya pagi  ini ku ingin minum secangkr kopi hitam. Padahal kebiasaan ini sudah agak lama aku tinggalkan. Ketika itu secangkir kopi ku jadikan teman begadangku sambil berdiskusi  dengan sesama teman-teman aktivisku dulu membahas beragam topik mulai  topik filsafat, sosial, budaya,  agama, ekonomi, hingga politik. Atau hanya sekedar pelengkap  untuk ngobrol-ngobrol ringan di pinggir jalan ketika sore hari sekedar untuk melepas lelah sambil menikmati hilir mudiknya kendaraan yang berpacu waktu. Tertawa riang, bersenda gurau tanpa beban.  Ah..secangkir kopi itu.

Saat ini ia telah hadir di depanku. Tapi aku sendiri, tidak ada teman berdiskusi juga ngobrol-ngobrol ringan. Temanku itu ya..secangkir kopi hitam itu. Kuhirup tegukan kopiku hitamku yang masih panas... sungguh sangat nikmat,  kurasakan ketulusan gula di dalamnya ketika ia tetap ikhlas walau tak pernah disebut namanya bersanding dengan kopi. Ku rasakan  panasnya sungguh membakar asa dan ambisiku akan cita yang belum tercapai. Kandungan kafeinnya sangat terasa menghentak denyut nadi dan detak jantungku untuk senantiasa berpacu denga waktu.  Harum wanginya yang menggoda sadarkan aku untuk senantiasa memberikan kebaikan pada orang lain.

Secangkir kop hitam ini...,  mengingatkan ku akan sebuah email yang sempat aku terima. Ya..tentang kopi. Katanya  kopi  ketika bersua dengan air yang sangat panas walau mungkin ia rasakan sakit, ia tak melarikan diri, tapi justru ia justru mampu merubah dirinya menjadi sesuatu yang sangat nikmat. Ia mampu bermetamorfosa menjadi lebih baik justru ketika ia menemukan kesulitan. Ah .. rasanya aku malu pada serbuk-serbuk kopi itu.

Mengingatkanku juga pada  tulisan Dee dalam Filosofi Kopinya. Ia bertutur dengan penuh makna bahwa kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apapun kopi, ya tetap kopi ia punya sisi pahit yang tak bisa dipisahkan dari rasa manis. Ia senantiasa bersanding saling mengisi, saling melengkapi.  Betul,  bahwa perjalanan ini tak bisa lepas dari tawa dan tangis. Kita punya lembaran kopi namun disebelahnya ada lembaran gula.

Aow..panas...! tak kusengaja tanganku menyenggol secangkir kopi itu. Pansnya telah mengusik imaginasiku mengembalikanku pada alam alam realitas, ya bahwa hidup harus down to erath. “Setinggi apapun hayalmu, tapi kakimu harus tetap menginjak bumi.”  Kira-kira demikian kopi itu menegurku.

Ku tengok cangkir yang kutumpahkan tadi, tenyata isinya tinggal setengah. Ia pun berbisik,  jangan pesimis ini “masih” setengahnya lagi, bukan” tinggal” setengahnya lagi..! Ini pun menghentak motivasiku yang terkadang rapuh dan sering ingin meneyerah. Setengah isi kopi itu semakin menyadarkanku bahwa harapan akan selalu ada.

Kuhirup seteguk lagi.., kurasakan kembali kenikmaatannya. Sekali lagi ia berbisik..janganlah kau berterimakasih kepadaku. Tapi berterimkasihlah pada yang telah membuatku. Karena hakikatnya yang telah memberimu kenikmatan bukanlah aku, tapi Dia. Tak kuasa ku tahan tetes air mataku ini. Ya Rabb...terimakasih atas segala kenikmatan yang telah Kau berikan. Dalam secangkir kopi ini ingin ku baca tanda-tanda-Mu, ingin ku baca lafad asma-Mu. Ingin ku raih nikmat-Mu.

Menapaki Tanda Strip (-)

                (Sumber gambar : ourclasscorner.com)
Hanyalah sebuah strip. Sebuah tanda baca seperti yang lainnya, titik, koma, garis miring, tanda tanya, tanda seru dan lainnya. Ia memisahkan antara antara satu kata dengan kata yang lainnya, atau satu bilangan dengan bilangan lainnya, baik sebagai tanda pengurangan (minus) atau sebagai rentang (yang biasa kita baca dengan sitilah “sampai dengan”).

Sebuah strip sebagai tanda minus atau penguarangan ia hadir dalam formasi matematika kehidupan. Ia senantiasa berada di belakang kita. Ke mana pun kita pergi ia mengikuti kita. Ia menjalankan fungsi eksistensinya sebagai tanda pengurangan, yakni mengurangi. Kita tak kuasa menolaknya sedikitpun. Seolah sebuah keharusan universal kita dibuat tunduk kepadanya. Berlalunya waktu, setiap tahun, setiap bulan, setiap hari, setiap detik yang kita lewati adalah tanda beroperasinya tanda strip dalam alur kehidupan kita ini. Ia hadir untuk mengurangi sisa waktu yang ada. Kita tidak bisa menggenggam waktu. Ia datang memintanya setiap saat, tak kuasa kita mempertahankannya. Ia hadir untuk terus mengurangi, mengurangi dan mengurangi, sampai akhirnya habis.

Biarlah ia tetap mengurangi, kita tak bisa merubahnya menjadi tanda positif (+) untuk operasi penjumlahan. Namun demikian, kita dapat berjalan di atasnya dengan penuh makna. Ya.. di atas tanda strip, kita bisa menapakinya dengan penuh arti. Ia adalah  “rentang” dari satu titik untuk menuju kepada titik berikutnya yang masih rahasia namun pasti. Dari suatu bilangan ke bilangan lainnya yang merupakan ketetapan-Nya. Masing-masing kita memiliki strip tersebut. Ia adalah sebuah rentang yang memisahkan antara saat kahadiran dan saat kepulangan, yang memisahkan tanggal kelahiran dan kematian kita. Sebuah strip, ia adalah rentang waktu yang kita miliki. Sebuah kesempatan yang telah diberikan oleh-Nya kepada kita semua. Ia adalah kehidupan kita. Ia terus berjalan menuju ketetapan rahasia tersebut. Ia berjalan terus dengan prinsip pengurangan. Mengurangi usia kita, mengurangi kesempatan kita, mengurangi keluangan kita, ia terus menuntun kita sampai benar-benar berada di titik kepastian tersebut. Sampai akhirnya strip itu akan terukir di atas batu nisan kita sebagai garis tengah yang memisahkan antara tanggal kelahiran dengan tanggal kematian kita.

Hanya sebuah strip..namun ia melambangkan apa yang telah kita perabuat dan dan apa yang kita lakukan selama berada di alam fana ini. Marilah kita tapaki strip itu dengan penuh arti sebelum ia benar-benar terukir di atas batu nisan itu.

MERETAS HARAPAN


Di hari penghujung tahun kemarin hampir semua orang berharap untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik dan lebih indah pada tahun berikutnya. Harapan tersebut sebenarnya tiap tahun kita canangkan. Bahkan lebih dari itu sebenarnya pula tiap hari dalam kehidupan kita senantiasa dipenuhi oleh beragam asa dan harapan.  Harapan memang harus selalu ada dalam hidup kita, karena ia dapat menjadi sebuah energi bagi kita untuk melakukan suatu usaha untuk mewujudkannya. Tanpa ada harapan hidup kita seolah menjadi hampa, tak ada yang mesti di raih, tak ada perjuangan.

Namun demikian  dari harapan dan asa yang kita inginkan tersebut sampai sejauh manakah telah tercapai. Sudahkah harapan-harapan tersebut kita gapai, asa itu kita rengkuh, cita itu kita raih ? Sudahkah apa yang kita impikan selama ini menjadi kenyataan ?

Dari rangkaian waktu yang telah berjalan, di antara kita mungkin sebagian cita-cita dan harapannya telah tercapai. Ada yang telah meraih gelar akademik tertentu. Ada yang telah mencapai pangkat dan jabatan tertentu. Telah mendapatkan suami atau istri dan anak tercinta yang didiam-idamkan sejak dulu. Telah memiliki rumah dan kendaraan yang telah lama dicita-citakan.  Mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih dari memadai. Bahkan juga mungkin popularitas. Juga tentunya pencapai-pencapaian lainnnya.  Semua telah di dapat. Semua telah dimiliki. Namun..setelah itu, sudahkah kita merasa cukup. Tentunya kita akan mengatakan tidak. Walaupun apa yang kita cita-citakan tersebut semuanya telah dapat ki raih, namun dalam hati dan angan kita seolah tidak merasa terpuaskan. Ada suatu esensi yang hakiki yang kita rasakan belum diraih.., bahkan sesuatu tersebut semakin kita kejar semakin menjauh. Anehhya lagi dan bahkan sungguh ironi adalah kita sendiri terkadang tidak tahu apa sebenarnya apa yang ingin kita raih dalam kehidupan kita ini.

Harapan yang ingin kita raih terkadang seperti fatamorgana. Dari jauh tampak berkilauan seperti air yang tertimpa sinar matahari. Orang yang kehausan tentu akan berupaya mengejarnya. Namun, setelah ia mendekat, fatamorgana tersebut pindah ke atas bukit. Dia berupaya mengejarnya lagi, dan fatamorgana tersebut terus berpindah dan menjauh sampai akhirnya  orang tersebut mati kehasuan. Ia mati dalam kegelisahannya dan terkubur oleh segala ambisinya yang tak pernah tercapai.  

Ada juga sebagian orang ketika ia kehausan ia tidak tertarik mengejar fatamorgana. Ia tahan rasa hausnya, ia bersabar dan berjuang mencari desa terdekat, ia lewati bukit dan jelan yang terjal untuk mencari air hakiki pemuas dahaganya. Ia menemukannya. Ternyata tidak jauh. Air itu ada di dekatnya, bahkan sangat amat sangat dekat.

Akhirnya di kesenyapan ini, dalam kegelisahan hati dan asa yang membuncah,  aku bertanya pada kesunyian apakah harapan dan asa yang aku kejar selama ini adalah harapan kesejatian dan sebenar-benarnya cita ?  Ku tengok ke belakang...Ya Rabb..ampunilah hamba, ternyata... banyak tapak-tapakku yang justru tidak mengarah pada kesejatian itu. Fatamorgana itu telah menyamarkan langkahku. Sementara waktu terus mengejarku..sanggupkah ku tahan dahaga ini ? Dapatkah ku temukan telaga itu..? Ingin ku minum sepuasnya, ingin ku dapatkan kesejatian, ingin ku tenggelam di dalamnya.  Rabb..bimbinglah hamba. Izinkan hamba menghampiri-Mu.