Selasa, 03 Januari 2012

Antara Makhluk Logika dan Makhluk Emosi

 (Sumber gambar : angahfadz.blogspot.com)

"Manusia adalah hewan yang berpikir" (Al-Insanu hayawanun nathiq) merupakan aksioma yang seolah tak terbantahkan dan pula menjadi kebenaran universal. Demikian pula ketika hal apa yang menjadikan perbedaan utama antara manusia dengan binatang, kita pun menjadikan akal sebagai pembeda yang utama. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut, dan juga tidak perlu diperdebatkan. Dalam realitasnya aktivitas yang kita lakukan seringkali dilandasi dan dikonsultasikan dengan faktor atau pertimbangan-pertimbangan logika. Bahkan filsuf kenamaan Descartes pernah melontarkan pernyataan yang cukup berpengaruh dalam pemikiran umat manusia, “cogito ergo sum” (aku berpikir kerena itu aku ada). Bahkan dari jargon tersebut pula lah kemudian berkembang mazhab filsafat Rationalism.

Namun demikian, tentunya kita sebagai manusia tidak bisa dan/atau tidak cukup dipotret dengan hanya satu aspek tersebut aja. Pun demikian kita pun tidak selamanya mendasarkan atau mengonsultasikan aktivitas kita pada pertimbangan logika semata. Aspek emosi juga tumbuh dan berkembang dalam diri kita. Tidak jarang pula aktivitas yang kita lakukan bersumber dari dorongan dan pertimbangan emosi. Bahkan dalam konteks pergaulan dibandingkan dengan logika, faktor emosi sepertinya harus lebih dipertimbangkan. Seperti yang diuangkapkan oleh Dale Carnegie (1888—1955), seorang sastrawan sekaligus motivator ulung asal Amerika Serikat “Ketika berhadapan dengan orang, ingatlah Anda tidak berurusan dengan makhluk logika, tapi makhluk emosi.” Sikap respek, empati, simpati, penuh perhatian, kehangatan dan sungguh-sungguh merupakan sesuatu yang mesti kita perhatikan ketika kita berhubungan atau berkomunikasi dengan orang lain, walaupun secara logika orang tersebut bukan siapa-siapa. (:-D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar